Kopiah.co – Beberapa waktu lalu, saya menceritakan tentang kesibukan saya sekarang di Mesir kepada kerabat di Indonesia, tanggapan mereka hampir serempak, “nyantri sampe ke Mesir kok ikut politik”.
Komentar hampir senada juga terjadi sewaktu pemilihan Wakil Presiden beberapa tahun lalu, yang seorang kiai. Tentu, masih banyak lagi stereotipe masyarakat bahwa politik itu kotor.
Oleh karenanya, menyebabkan santri enggan berkecimpung dalam politik. Seakan santri itu suci dan hanya bisa mendirikan majlis taklim atau mengajar ilmu agama saja. Kemudian, apakah memang seharusnya ulama dan santri itu anti-politik?
Mari kita melihat ke belakang, bagaimana sejarah kemerdekaan Indonesia. Santri adalah salah satu elemen masyarakat yang ikut serta dalam perjuangan memberantas para penjajah.
Hal itu terbukti dengan resolusi jihad yang di keluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya, serta ada sekitar 130 pertempuran yang melibatkan pesantren, dan masih banyak lagi kiprah pesantren, yaitu ulama dan santrinya dalam banyak aspek untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Kini, ketika kemerdekaan dari hasil perjuangan pesantren sudah kita nikmati, masyarakat justru mengisolasi pesantren dalam partisipasi panggung pemimpin.
Spirit Islam yang dulu menjadi motivasi jihad melawan penjajah, sekarang dibelenggu hanya untuk belajar mendalami ilmu agama saja, yang seakan-akan politik bukan bagian dari agama.
Padahal stereotipe seperti itu disebabkan oleh rendahnya pendidikan politik di Indonesia, kurangnya kepedulian masyarakat tentang politik dan kotornya dunia politik yang disebabkan oleh para aktornya.
Indonesia sebagai negara demokrasi, siapa pun dari kalangan mana saja dapat berpartisipasi dalam panggung politik perebutan kursi pemimpin, termasuk santri.
Namun kenyataannya, demokrasi negeri kita telah dijualbelikan kepada siapa yang berkuasa dan kuat. Suara rakyat sudah ibarat barang dagangan dan politik ibarat pasarnya. Dibutuhkan komitmen dan karakter yang kuat agar dapat bersaing dalam pasar tersebut.
Santri jangan hanya menjadi penonton dan apatis dari kotornya dunia politik. Keikutsertaan santri dalam kegiatan politik di berbagai tingkatan itu diperlukan.
Kini, santri harus berani maju berpartisipasi dalam perebutan kursi pemimpin. Karena syarat menjadi pemimpin dalam persperktif hadis adalah dhabid yaitu cerdas dan ghairu syadz, yaitu dapat di percaya
Mari kita melihat pendidikan karakter yang diterapkan pesantren, santri memiliki karakter lebih, dibandingkan non-santri. dalam penelitian Mohammad Soleh dalam jurnalnya “Kebermaknaan Hidup Mahasiswa Reguler dan Mahasiswa Unggulan (Santri) Universitas Islam Indonesia’’ pendidikan karakter yang diajarkan di pesantren, bahwa santri itu harus mandiri, bertanggung jawab, berlapang dada, menegakan keadilan dan memiliki kebaikan hati.
Maka santri juga pantas untuk ikut andil dalam panggung perebutan kursi pemimpin tanpa takut adanya komentar negatif. Santri berpolitik, why not? Kaum santri sebagai elemen yang dianggap paling paham agama setelah ulama, semestinya dapat menjadi jawaban atas harapan-harapan rakyat, tentang kemakmuran dan kesejahteraan. Karena jika banyak santri berkarakter yang menjadi pemimpin, tentunya dunia politik akan sedikit demi sedikit menjadi bersih dari praktik-praktik yang mencemari politik.