Beragama Islam Secara Komprehensif

Artikel Populer

Penulis: Veda Dhiyaulhaqqi Najech mahasiswa universitas al-Azhar Kairo, Mesir.

Agama adalah tempat pulang ketika manusia tengah disibukkan oleh kehidupannya. Manusia bebas memilih tempat pulang itu sesuai dengan kecenderungannya masing-masing. Tanpa rumah, manusia akan kebingungan, seolah berada di jalanan tanpa arah dan tujuan.

Seperti halnya dalam dunia indrawi, agama adalah rumah yang nyaman untuk kita tinggali. Namun, sudah cukupkah kita dengan memiliki rumah? Dan apakah rumah itu kita yang membuatnya sendiri sehingga agar sesuai dengan kesukaan kita? Dibangun semegah mungkin agar orang takjub melihatnya? Foto tokoh favorit kita terpejeng di ruang tamu? Ataukah rumah itu adalah tempat yang tanpa kita menghiasnya, ia sudah memberi ketenangan dan memberikan solusi tanpa perlu menanyakan mengapa bisa begini?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu merenungi kembali sabda Nabi SAW:

عن تميم الداري رضي الله عنه، أن النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ‏”‏ الدِّينُ النَّصِيحَةُ ‏”‏ قُلْنَا: لِمَنْ. قَالَ: ‏”‏ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ‏”‏‏.‏ صحيح مسلم

Dari Tamim Ad-Dari r.a. Sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Agama adalah perlakuan baik” kami berkata “Kepada siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada utusan-Nya, kepada para imam umat Islam, dan kepada umat Islam secara umum”. (Riwayat Muslim)

Nilai yang kita ambil dari hadis tersebut ialah petuah Nabi SAW yang mengatakan bahwa sejatinya agama adalah perlakuan baik, berbudi pekerti, beretika dan bermoral kepada Allah, KitabNya, utusanNya, imam-imam umat islam dan umat islam secara umum. Pemahaman yang kita tangkap yakni tentu agama hadir di muka bumi ini sebagai neraca baik dan buruk. Oleh karenanya, manusia sangat memerlukan hal itu, dan jika tidak ia akan melakukan aktifitas seenaknya saja, berbuat sesuka hatinya. Namun, penulis tidak ingin membahas dari segi itu. Penulis berusaha mengarahkan tulisan kepada perenungan pertanyaan di paragraf awal mengenai agama yang berlandaskan hadis di atas, apakah dengan beragama kemudian sudah cukup? Cukupkah hanya dengan memiliki KTP bertuliskan “beragama Islam”?

Agama juga merupakan identitas manusia. Akan tetapi identitas agama seringkali dijadikan satu-satunya pusat perhatian bagi sebagian orang. Yang mana terkadang kasta seseorang di sosial bisa diukur melalui pakaiannya, panjang jenggotnya, perilakunya yang terlihat agamis bahkan omongannya yang seolah terlihat suci sehingga orang lain merasa orang tersebut berhak memimpin majelis. Singkatnya penilaian keagamaan seseorang diambil dari apa yang ditampakkan saja.

Hal tersebut membuat orang lupa akan substansi ajaran Islam yang sesungguhnya. Orang bakal merasa aman jika bernamakan Islami. Jika ia mengenakan atribut keagamaan saja. Tentunya, memang itu adalah syiar agama, tetapi bukan berarti syiar agama hanya berupa hal fisik. Justru syiar agama akan lebih cepat diterima dakwahnya jika melalui tindakan-tindakan moral yang baik. Agama itu elite, maka hendaknya elite-elite agama juga membuktikan sisi elitis itu dalam bungkusan tindakan dan perilaku.

Jika seseorang merasa tidak akan dibebani dosa karena mengikuti identitas material, maka etika dan moral yang seharusnya menjadi esensi ajaran Islam akan terabaikan demi kepentingan pribadi. Mereka hanya berlomba-lomba menghias rumah dengan cara yang mereka sukai, tanpa memahami makna yang lebih dalam. Banyak orang tertipu dengan nama “Islam” tanpa menelisik arti “Islam” yang sebenarnya, yaitu kedamaian. Kedamaian itu justru hilang dari perilaku mereka.

Sikap-sikap Rasulullah saw yang seharusnya mereka teladani dilupakan karena mereka berebut untuk menyandang gelar “firqah najiyah” (kelompok yang selamat). Hal ini terjadi karena mereka lebih suka menggunakan kata “islami” daripada memahami makna “islami” itu sendiri. Mereka hanya mengetahui simbol tanpa memahami makna simbol itu. Analoginya seperti orang yang berkendara di lampu lalu lintas, dia tahu lampu merah, tapi tetap menerobosnya. Berbeda dengan orang yang memahami arti lampu merah, dia akan patuh dan menghormati aturan tersebut.

Seseorang tidak akan melakukan perilaku-perilaku yang melanggar moral ketila ia benar-benar memahami makna salat, yakni dzikrullah (mengingat Allah). Teresebab, manusia tidak akan hanya mengingat Allah saat salat saja, melainkan selama kesehariannya karena ia merasa salat (menginngat Allah) dalam setiap geraknya. Tapi yang terjadi justru bukan seperti itu, orang merasa aman dengan salat gara-gara salah memahami arti surat Al ‘Ankabut ayat 45:

إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر

“Sesungguhnya sholat melarang perbuatan keji dan munkar”.

Ketika seseorang mengingat zat Allah yang agung dengan dibarengi ilmu akhlak, tidak akan terdenting di pikirannya untuk melupakan esensi agama tentang keluhuran. Sehingga tidak akan muncul adagium “percuma sholat tapi maksiat”. Ia juga tidak akan bersikeras menyalahkan dan mengatakan keburukan pihak lain jika dia meyakini bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah swt. Ia tidak pula memaksakan nilai islam bertebaran dimana-mana sebagai identitas atau covernya saja. Karena yang lebih utama disebarkan bukanlah covernya, namun ajarannya. Dengan cara substantif-inklusif yakni melakukan proses islamisasi dalam kultur budaya, bukan politisasi. Persis seperti yang diproyeksikan Gus Dur dalam Islamku, Islam Anda dam Islam Kita, dengan penyebaran makna-makna tersirat dari ayat-ayat al-Quran ke dalam kehidupan sosial.

Dengan demikian, berislam bukanlah tentang paling putih bajunya, paling panjang jenggotnya, paling hitam dahinya. Tidak cukup dengan sholat yang banyak. Tidak cukup pula dengan bacaan tilawah yang indah bahkan menghafal Al Qur’an sekalipun. Justru dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن ما أتخوّف عليكم رجل قرأ القرآن حتى إذا رئيت بهجته عليه ، وكان ردئا للإسلام ، غيره إلى ما شاء الله ، فانسلخ منه ونبذه وراء ظهره ، وسعى على جاره بالسيف ، ورماه بالشرك ، قال : قلت : يا نبي الله ، أيهما أولى بالشرك ، المرمي أم الرامي ؟ قال : بل الرامي .

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah seseorang yang membaca Al-Quran, hingga terlihat kebesaran Al-Quran pada dirinya. Dia senantiasa membela Islam. Kemudian ia mengubahnya, lantas ia terlepas darinya. Ia mencampakkan Al-Quran dan pergi menemui tetangganya dengan membawa pedang dan menuduhnya syirik. Saya (Hudzaifah) bertanya: “Wahai Nabi Allah, siapakah diantara keduanya yang lebih berhak atas kesyirikan, yang dituduh ataukah yang menuduh?” Beliau menjawab: “Yang menuduh.” (H.R. Ibn Hibban).

Yang ditakuti oleh Rasulullah saw justru penghafal Al-Qur’an yang menumpahkan darah. Maka berislam tidaklah cukup jika hanya dengan menyandang nama islami, ber KTP islam, membaca al-Qur’an yang indah, namun semuanya tentang praktik ajaran keislaman. Untuk mengakhiri tulisan ini saya akan mengutip sebuah adagium yang masyhur “ilmu tanpa pengamalan bagai pohon tak berbuah”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Terbaru

Ubudiyah: Puncak Kebebasan Seorang Manusia

Kopiah.co -- Sejak Revolusi Perancis, diskursus tentang kebebasan menjadi isu yang selalu menarik dan tak pernah basi untuk diperbincangkan....

Artikel Terkait