Penulis: Ahmad Miftahul Janah mahasiswa universitas al-Azhar Kairo, Mesir.
Pasca Perang Dunia II, perempuan yang pada mulanya sering dianggap sebagai makhluk “the second sex” (dalam istilah Simon de Beauvoir) mulai mendapatkan tempatnya di ruang-ruang publik. Pasalnya, perang tersebut memakan banyak korban laki-laki yang berakibat pada mandeknya proyek industrialisasi, sehingga membuat perempuan—terlepas setuju atau tidak—terpaksa dibebaskan dari pekerjaan rumah tangga dan dipekerjakan di sektor publik. Keadaan tersebut kemudian membantu memunculkan kesadaran lebih besar pada perempuan akan kesetaraan gender, dan membuat suatu reaksi alamiah untuk melakukan beberapa perombakan pada hukum yang bersifat patriarki.
Pada tataran selanjutnya, negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim pun mulai mendapat stigma buruk terkait praktik memperlakukan perempuan. Beberapa hukum Islam yang dirasa tidak sesuai dengan nilai-nilai kesetaraan gender atau bersifat patriarki, seperti poligami, bercadar, pengekangan perempuan dalam rumah, serta pemukulan terhadap istri mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Hal tersebut kemudian direspon oleh berbagai kalangan umat muslim. Sebagian berapologi dengan tetap memercayai cara keberagamaan lama yang telah mapan, sementara yang lain berusaha melakukan interpretasi ulang atas ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan sehingga memunculkan hukum yang sesuai dengan konteks zamannya. Di antara tokoh yang mengusahakan adanya reinterpretasi atas ayat-ayat perempuan adalah Asghar Ali Engineer.
Asghar Ali dilahirkan di Salumbar, Rajastan, India pada tanggal 10 Maret 1939. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain, adalah seorang pemuka agama sekaligus pemimpin kelompok Dawoodi Bohra, sebuah kolompok dalam sekte Syiah Ismailiyyah. Ia dikenal sebagai tokoh yang berpikiran cukup terbuka ketika berdialog dengan penganut keyakinan lain. Dari ayahnya, Asghar Ali mendapat pendidikan pertama terkait keislaman, mulai dari teologi, hadis, tafsir, serta fikih. Selain itu, ia juga banyak mendapatkan pengaruh progresifitas dalam mengamalkan nilai-nilai keislaman.
Pemikiran Asghar Ali barangkali juga banyak dipengaruhi oleh latar sosio-politik di negara ia dilahirkan. Saat itu, Asghar Ali hidup di tengah gejolak pergolakan etnis, perseteruan politik, kesenjangan ekonomi, serta konflik agama di India. Kondisi yang demikian runyam itu bukan tidak mungkin memberikan pengaruh terhadap perkembangan pemikirannya di kemudian hari, termasuk ketika ia berbicara terkait perempuan.
Dalam pandangan Asghar Ali, senada dengan Amina Wadud dan Riffat Hassan, laki-laki dan perempuan pada dasarnya setara di mata Allah. Hanya saja, para mufasir—yang mayoritas laki-laki—rupanya seringkali memberikan penafsiran atas al-Qur’an dengan kurang tepat. Hal tersebut berimbas terhadap adanya bias gender dalam penafsiran al-Qur’an. Oleh karena itu, Asghar Ali menawarkan adanya penafsiran ulang terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan agar sesuai dengan semangat kesetaraan gender. Ia berusaha mendobrak tradisi penafsiran lama yang telah mapan.
Metodologi Tafsir Asghar Ali Engineer
Menurut Asghar Ali, saat menemukan ayat-ayat yang bersinggungan dengan perempuan, kita harus memperhatikan tiga hal berikut: (Volume 2, No. 2.
Universalitas Al-Qur’an; Religiusitas dalam Bingkai Dialektika Sosial, hal. 218)
Pertama, kita perlu mengetahui adanya dua aspek yang dimiliki al-Qur’an: normatif dan kontekstual. Aspek normatif merujuk pada nilai-nilai dan prinsip al-Qur’an yang besifat eksternal dan dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks ruang dan waktu, seperti persamaan, keadilan, dan kesetaraan (ideologis). Sementara itu, aspek kontekstual dalam al-Qur’an berkaitan dengan ayat-ayat yang diturunkan untuk merespon problem-problem sosial tertentu (empiris). Seiring dengan berkembangnya zaman, ayat-ayat tersebut bisa saja mengalami abrogasi (baca; nasakh).
Jika dilihat dari aspek normatif, terlihat jelas bagaimana al-Qur’an berusaha menegakkan prinsip kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan. Namun, jika dilihat dari aspek kontekstual, al-Qur’an terkadang mendudukkan laki-laki satu tingkat di atas perempuan. Mengetahui perbedaan dua aspek ini menjadi sangat perlu ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa nilai-nilai ideologis yang dibawa oleh al-Qur’an tidak bisa dipaksakan begitu saja terhadap suatu masyarakat. Nilai-nilai tersebut harus melewati tahapan kompromi dengan realitas empiris yang ada (baca; masyarakat patriarkal). Dengan begitu, hukum Islam merupakan sintesis dari unsur-unsur yang normatif dan kontekstual.
Kedua, penafsiran atas al-Qur’an sangat bergantung terhadap pengalaman, persepsi, dan latar belakang sosio-kultural seorang mufasir. Menurut Ali, penafsiran terhadap fakta empiris atau kitab suci selalu bergantung terhadap posisi apriori seseorang. Setiap mufasir tentu memiliki latar sosi-kultural yang berbeda-beda, sehingga penafsiran yang murni terhadap kitab suci menjadi tidak mungkin. Hal ini dikarenakan suatu penafsiran selalu dipengaruhi oleh situasi-situasi sosiologis, dan tidak ada seorang pun yang dapat terlepas dari pengaruh tersebut.
Ketiga, makna ayat-ayat al-Qur’an terbentang oleh waktu. Oleh karena itu, penafsiran-penafsiran ulama klasik tentunya memiliki beberapa perbedaan dengan hasil penafsiran para mufasir modern. Hal tersebut terjadi karena al-Qur’an menggunakan bahasa simbolik atau metaforis yang bermakna ambigu. Ambiguitas itulah yang kemudian membuka peluang fleksibilitas dalam perubahan yang kreatif dan konstruktif. Dalam hal ini, Asghar Ali memberitahu kita bahwa penafsiran bahasa simbolik dalam al-Qur’an seringkali didasari sudut pandang sosio-historis dan pengalaman para mufasir al-Qur’an itu sendiri.
Ketiga poin di atas harus diperhatikan saat hendak memahami ayat-ayat al-Qur’an. Lebih dari itu, Asghar Ali menyarankan untuk lebih mengedepankan aspek normatif daripada aspek kontekstual, dengan alasan aspek normatif sarat dengan nilai dan prinsip yang menjadi dasar bagi al-Qur’an bersifat ilahiah. Sementara itu, ayat-ayat kontekstual perlu untuk ditafsirkan secara ketat dengan melihat konteks sosio-historis dimana ayat tersebut diturunkan. Termasuk di antaranya, kita harus memahami bagaimana posisi kaum perempuan dalam konteks masyarakat tersebut. Tanpa memperhatikan tiga poin tersebut, kita tampaknya akan kesulitan untuk mendapati sebuah kesimpulan yang arif.
Konsep Poligami
Pada era modern, poligami merupakan salah satu sasaran empuk para propagandis untuk menggugat ketidakadilan agama Islam. Hal ini karena praktek poligami dianggap menyalahi prinsip keadilan dan kesetaraan gender, sementara praktek tersebut secara legal formal dibolehkan oleh agama. Ketentuan tersebut dinyatakan dalam Q.S. Al-Nisa ayat 3;
“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”
Untuk memahami esensi ayat tersebut, kita perlu membaca ulang konteks historis sebelum diturunkannya ayat tersebut. Pada masa pra-Islam, praktek poligami telah jamak dilakukan oleh masyarakat Arab. Setiap lelaki tidak dibatasi untuk memiliki istri dalam jumlah berapa pun. Para penafsir klasik merekam kasus sebagian masyarakat Arab yang beristri hingga sepuluh. Dalam masyarakat Arab pula, tidak ada gagasan keadilan yang berhubungan dengan istri-istri ini. (Tafsir Perempuan, terjemahan dari The Qur’an, Women, and Modern Society, hal. 130)
Keadaan seperti itulah yang tentu tidak dapat diterima oleh al-Qur’an. Hal ini karena proyek dasar atau aspek normatif yang hendak disampaikan al-Qur’an ialah tentang memberikan kekuasaan terhadap perempuan sehingga mendapatkan keadilan dan kesetaraan. Akan tetapi, pemberian kekuasaan kepada perempuan secara mutlak (memberinya status setara dengan laki-laki dalam setiap masalah) bukanlah merupakan keputusan yang tepat untuk konteks masyarakat saat itu. Oleh karena itulah, al-Qur’an mengambil jalan tengah yang oleh Asghar Ali disebut sebagai jalan pragmatis-ideologis. Sembari al-Qur’an memberi isyarat yang mengarah pada keadilan, baik langsung ataupun tidak, al-Qur’an juga mencoba melakukan kontekstualisasi terhadap masyarakat yang didominasi oleh laki-laki.
Selanjutnya, dengan melihat pada kandungan ayat tersebut, dapat kita saksikan bahwa sebenarnya al-Qur’an enggan menerima instruksi poligami. Akan tetapi, al-Qur’an juga tidak dapat mengelak dari realitas akan tidak bisa lenyapnya praktik yang telah berlaku secara umum. Sehingga yang dilakukan al-Qur’an adalah membatasi jumlahnya dan memberikan syarat ketat yang berkaitan dengan keadilan terhadap para istri. Dengan demikian, tujuan ayat ini jelas, yaitu menghendaki monogami.
Pemukulan Terhadap Istri
Seperti halnya poligami, hukum terkait legalitas pemukulan terhadap istri juga menuai banyak stigma negatif. Hal tersebut disebabkan pemukulan terhadap istri tidak sesuai dengan nilai keadilan, bahkan dianggap menyalahi hak asasi manusia. Di sisi lain, hukum pemukulan terhadap istri juga termaktub dalam Q.S al-Nisa ayat 34:
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha besar.”
Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat akan ayat ini, Asghar Ali mengutip berbagai pendapat penafsir terkait hukum pemukulan terhadap istri. Sebagian mufasir keukeuh mengimani kebolehan memukul istri, sementara sebagian lain memilih memaknai kata dharaba (memukul) dengan cara yang beragam atau justru menyangkalnya sama sekali. Akan tetapi, Ali kemudian mengajak kita meraba-raba makna yang tepat untuk memaknai ayat ini dengan konteks kekinian. (Tafsir Perempuan, terjemahan dari The Qur’an, Women, and Modern Society, hal 79)
Jika melihat pada konteks sosiologis saat ayat tersebut turun, kita akan mendapati bahwa pemukulan terhadap istri adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan dalam sebagian riwayat tafsir, ayat ini diturunkan karena pengaduan seorang perempuan yang dipukul oleh suaminya. Ia lalu mengadu kepada Nabi, dan beliau menanggapi agar si perempuan membalasnya. Namun, jawaban tersebut segera menuai protes dari para sahabat. Mereka takut kehilangan dominasi atas para istrinya sehingga turunlah ayat tersebut. Bahkan, sahabat Nabi yang terkemuka seperti Umar bin al-Khattab RA sulit menerimanya. Ia diriwayatkan sering memukul istrinya.
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa al-Qur’an dan Nabi sebenarnya telah mencoba yang terbaik untuk keadilan bagi perempuan. Semua bentuk dominasi laki-laki atas perempuan hendak dilenyapkan. Namun, ketika dihadapkan dengan konteks sosial masyarakat pada masa itu, al-Qur’an harus melakukan kompromi praktis. Sehingga pemukulan terhadap istri tetap diperbolehkan, tetapi dengan batasan yang ketat: pemukulan tidak boleh kasar (ghairu mubarrah), bahkan pemukulan dengan sikat gigi atau lipatan sapu tangan dianggap cukup. Bahkan dalam konteks kekinian, seharusnya pemukulan istri tidak lagi dilakukan karena mengandung spirit dominasi yang hendak dilenyapkan al-Qur’an.
Penutup
Akhirulkalam, kita sampai pada sebuah penutup bahwa dalam upaya reinterpretasi Asghar Ali atas ayat-ayat perempuan selalu didapati pendapat yang sesuai dengan semangat keadilan dan kesetaraan gender yang ada. Hanya saja, pendapat yang bersifat demikian masih berjumlah sedikit dan untuk saat ini masih menabrak arah penafsiran yang mapan.Tabik.