Penulis: Rafi Erlangga Kadarusman, mahasiswa universitas al-Azhar Mesir
Kopiah.co Sejak awal abad 21 pada Perang Kongo Kedua hingga Perang Israel-Iran saat ini, tercatat ada lima juta penduduk dunia telah menjadi korban selama peperangan. Sebagian dari pertumpahan darah ini, berakhir dengan perdamaian yang memberikan warga kehidupan, atau terus melakukan penyerangan satu sama lain tanpa menemui titik temu untuk perdamaian antara kedua belah pihak. Peperangan yang terjadi di dunia akan terus-menerus bermunculan baik dengan setrategi yang terencana maupun secara tiba-tiba. Penyebab munculnya perang, berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan manusia seperti konflik antar budaya, ras, agama, geopolitik dan ekonomi.
Islam sebagai agama yang memiliki banyak pengikut menjadi salah satu unsur sebab peperangan itu terjadi. Dalam hal ini, ajaran Islam tentang perjuangan dan perlawanan yang dipahami oleh sebagian umat muslim, dijadikan sebagai faktor atas kemunculan perang di beberapa pihak. Dengan bukti adanya beberapa aktivis dan para pejuang Islam yang mengambil langkah perlawanan dengan cara pertumpahan darah. Mereka bertindak berdasarkan pemahaman Islam yang diartikan sebagai perjuangan. Bagi mereka ketika kita ingin membela bangsa dari musuh, harus melakukan penyerangan dengan cara pembunuhan yang kemudian memakan sejumlah nyawa.
Berangkat dari sini, terlihat dari beberapa pemeluk Islam pada kenyataannya memiliki jiwa patriotis sebagaimana konsep yang ada di atas. Terbukti adanya makna patriotis dalam Islam yang membahas tentang kewajiban seorang muslim untuk mempejuangkan negaranya dari ancaman para musuh dengan memoncongkan senjata. Ditambah dengan banyakanya konflik negara yang mengatasnamakan Islam acap kali memakan nyawa yang begitu banyak. Sebagai contoh terdekat konflik Palestina-Israel yang kembali menyala sejak Oktober 2023 kemarin dan sudah mengambil banyak korban jiwa.
Tak hanya itu, banyak dari kaum pejuang Islam terus menyalakan semangat patriotisnya dengan cara memperkuat senjata, meningkatkan akademi militer, bahkan memoncongkan rudal ke wilayah geografis musuh dengan dalih merupakan suatu tindakan preventif mereka dari serangan musuh. Argumen semacam ini tidak ada dasar yang tepat untuk melakukan perdamaian, selama senjata masih dihadapkan kepada musuh berarti pertumpahan darah akan terus berlanjut. Senjata yang terus menghadap ke arah musuh menandakan bahwa perdamaian tidak akan pernah tercapai. Karena kata senjata sendiri banyak orang memahaminya sebagai suatu alat yang digunakan untuk meraup nyawa makhluk hidup.
Begitu pun kekejaman umat Islam, terlihat jelas di kelompok Islam revivalis dan fundamentalis yang menganggap praktik perjuangan di dalam ajaran Islam diinterpretasikan dengan cara peperangan. Dan mereka menganggap hal tersebut sudah mutlak kebenarannya. Segala kelompok yang hadir di luar pemahaman mereka berhak dimusnahkan dengan cara melawannya hingga kehadiran kelompok selain mereka tidak berhak ada di kehidupan Islam. Bagi mereka, hanya Islamlah—ajaran agama yang banyak memiliki jumlah pengikut—yang pantas untuk menyambut perkembangan peradaban di dunia. Dalam artian segala gerakan politik ataupun sosial yang tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan hadis Nabi, tidak pantas untuk berkuasa di dalam sistem kenegaraan. Atas dasar pernyataan ini, mereka kerap kali melakukan penyerangan terhadap kelompok lain. Dengan alasan kelompok selain mereka bertindak secara kontradiktif dari asas pemahaman mereka.
Di awal, saya melihat konsep nasionalis yang dibawakan Islam bisa melahirkan perdamaian antara bangsa dan agama. Klaim ini saya dasari dari penafsiran Imam Zamakhsyari di dalam surat al-Hujurat ayat 13. Secara garis besar ayat ini menjelaskan asal-usul kemanusiaan yang menunjukkan kesamaan derajat antar manusia. Jika diselisik lebih lanjut, makna yang berarti satu-kesatuan antar manusia membuktikan pentingnya perdamaian di dalam kehidupan manusia, maka dari sini Islam bisa disimpulkan memiliki konsep perdamaian di dalam syariatnya.
Akan tetapi, konsep tersebut bagi saya hanyalah suatu tulisan hitam di atas putih saja. Sebab saya melihat multi-konflik di era modern ini, seragam dengan lahirnya kelompok-kelompok pejuang Islam yang menganggap ajaran kelompoknya yang paling tepat untuk memimpin sistem negara. Didukung oleh asumsi bahwa mereka adalah umat muslim dengan ras superior di antara masyarakat lain. Dan lahirnya beberapa peperangan, terlahir dari tubuh kelompok Islam semacam ini yang kemudian mencetak banyak korban jiwa di setiap perangnya.
Di dalam pembahasan nasionalisme harus tertanam jiwa patriotis. Bila kita melihat arti pada jiwa dan nilai-nilai patriotis lebih luas, di dalamnya lazim terkandung sikap kemanusiaan, kesejahteraan dan saling membantu satu sama lain. Kekerasan bahkan peperangan yang mengandung pertumpahan darah bukan lagi menjadi suatu kesatuan dari tindakan patriotis pada bangsa dan agama. Berkaca dari pemahaman ini, saya bisa menyatakan jiwa patriotis di dalam Islam revivalis dan fundamentalis bukanlah konsep perjuangan pada suatu bangsa atau sebuah laku pertahanan diri dari musuh. Pemahaman patriotis menurut mereka bisa saya katakan merupakan tindakan pembunuhan yang berlindung di balik kata pengorbanan untuk bangsa.
Menarik lebih jauh dari ungkapan di atas, narasi Islam tentang salamatun li al-dunya ikut terpatahkan secara konstrukstif. Narasi yang Islam bawa tentang perdamaian dunia tidak dapat terealisasikan apalagi perdamaian pada kehidupan manusia. Perilaku sebagian kelompok Islam yang terus menganggap pembunuhan sebagai tindakan pertahanan atau menjaga diri dari musuh merupakan sebuah tindakan yang sadis tanpa memikirkan keberlanjutan hidup seseorang. Tentu, hal ini amat bertentangan dengan dua nafas ajaran Islam di atas.
Islam sedari zaman Nabi Muhammad dianggap sebagai agama yang bisa mewujudkan kesejahteraan manusia, sudah tidak dapat dijadikan poros utama. Ragam sikap yang Nabi utarakan seperti dialog antar agama lain, pentingnya kesejahteraan umat dan berperilaku adil sesama manusia, tak bisa diagungkan kembali oleh umat muslim. Laku perjuangan yang dilakukan oleh sebagian pejuang dari Islam menghilangkan kehadiran Islam sebagai suatu ajaran yang mengunggulkan hak kemanusiaan di dalam praktik nasionalisme dan patriotisme.
Hilangnya nilai kemanusiaan di dalam praktik patriotisme Islam, terformulasi dari umat muslim itu sendiri yang selalu beranggapan bahwa agama Islamlah suatu ajaran yang tepat untuk melanggengkan peradaban dunia. Dengan pengakuan hanya Islam yang siap untuk menjalin perdamaian di setiap konflik yang ada di dunia. Sekalipun mereka mengira semua konflik yang terjadi di dalam agama Islam tidak terlahir secara alamiah dari diri mereka sendiri. Tetap saja aktor yang menggelorakan perjuangan kepada Islam tidak memperhatikan kehidupan manusia setelahanya. Demikian saya bisa simpulkan, sebenarnya mengagungkan konsep patriotis Islam yang muncul sejak masa primodial, patut didekontruksi kembali secara luas dengan mengikuti perkembangan zaman.