Kopiah.co – Manusia sebagai entitas (human nature) membawa atribut-atribut yang menjadi alat pelengkap untuk menunjang kehidupannya sebagai manusia, akal budi dan moralitas. Dengan entitas dan atribut ini, manusia menjadi makhluk yang bermartabat, istimewa dan superior, namun, semua ini seyogyanya diiringi dengan kesadaran manusia untuk menjadi lebih baik.
Nilai-nilai kemanusiaan yang diberikan Tuhan—dalam Al-Quran—tidak serta merta menjadikannya sebagai sebuah pembenaran atas keserakahan dan perbuatan negatif manusia, sebaliknya, nilai-nilai istimewa manusia ini berorientasi pada perbaikan dirinya menjadi manusia super (Übermensch), dan membawa dampak besar yang positif bagi struktur kehidupan alam.
Martabat Manusia Dalam Islam
Dalam pendekatan pemikiran Islam, manusia sejatinya digambarkan sebagai suatu entitas yang memiliki superioritas sebagai makhluk Tuhan, hal ini digambarkan dari banyaknya argumentasi teks Al-Quran yang menyebutkan keistimewaan manusia ketika dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Argumentasi keistimewaan manusia ini disebutkan dalam berbagai bentuk. Pertama, manusia oleh Tuhan digambarkan sebagai ciptaan terbaik, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” (Al-Tin:4). Dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Ibnu ‘Asyur menjabarkan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kesempurnaan esensinya—akal budi dan moral—untuk menunjang kehidupan manusia yang berperadaban.
Kedua, ketika sempurna penciptaan Adam sebagai manusia pertama—dengan ditiupkan ruh oleh Tuhan—, malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya “Kemudian apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan roh (ciptaan)-Ku kepadanya; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya.” (Shad: 72). Tidak berhenti sampai di situ, penolakan iblis terhadap perintah Tuhan untuk sujud terhadap adam menjadikannya musuh abadi manusia dan diusir dari surga (Al-Hijr: 34)
Ketiga, manusia adalah makhluk yang dimuliakan langsung oleh Tuhan sebagai suatu entitas dan diistimewakan dari makhluk-makhluk Tuhan lainnya, “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (Al-Isra’: 70).
Keempat, penciptaan manusia bertujuan untuk menjadikannya khalifah di bumi, seorang yang mengelola tatanan alam ini sehingga menjadikannya lebih baik dari waktu ke waktu, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah1 di bumi.” (Al-Baqarah: 30), ayat ini menasbihkan manusia sebagai seorang pemimpin bagi tatanan dunia yang kompleks ini, sebuah amanah berat yang mengharuskan adanya kemampuan yang luar biasa, disisi lain ini adalah martabat terbesar yang Tuhan berikan kepadanya.
Argumentasi Al-Quran yang membahas keistimewaan dan martabat manusia ini pada akhirnya tidak membedakan tingkat kemuliaan manusia berdasarkan ras, warna kulit, ataupun kewarganegaraan. Martabat tersebut eksis sebagai atribut esensi manusia itu sendiri, hadir ketika manusia mulai hidup di dunia, dan hilang dengan kematian manusia itu.
Untuk menyempurnakan martabat manusia, ia tidak dilepaskan dari Sang Pencipta, Abdul Jabbar Rifai merumuskan dua prinsip fundamental yang menjadi landasan humanisme: pertama, keberadaan Tuhan sebagai pusat dari seluruh entitas, dan kedua, manusia sebagai pusat kehidupan di bumi. manusia tidak berdiri otonom, melainkan selalu berada dalam kerangka keberpusatan pada Tuhan sebagai sumber segala eksistensi.
Dengan mengintegrasikan dua dimensi ini, humanisme tidak hanya mengakui martabat manusia sebagai individu, tetapi juga menempatkannya sebagai aktor utama dalam mewujudkan misi ilahiah di dunia. Dengan demikian, konsep ini memberikan kerangka teologis dan filosofis yang menyeimbangkan antara nilai-nilai spiritualitas dan tanggung jawab manusia, menjadikannya relevan dalam konteks keberagaman dan tantangan kehidupan modern.
Übermensch Friedrich Nietzsche
Friedrich Nietzsche seorang filsuf dari Jerman mengemukakan konsepnya tentang manusia super yang dimanakan Übermensch, dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra ia menginginkan manusia untuk bertumbuh, menjangkau keluar, menarik diri keluar, menuju ke atas, dan bukan keluar dari moralitasnya sebagai manusia, karena manusia itu hidup, dan karena hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Manusia haruslah bersikap jujur terhadap dirinya, dan selalu bersikap inovatif untuk melampaui kemampuannya.
Selanjutnya, tujuan utama dalam Übermensch adalah menjelmakan manusia yang lebih kuat, lebih cerdas dan lebih berani, dan yang terpenting dari Übermensch adalah , ia harus memiliki jati diri yang khas, yang sesuai dengan dirinya, yang ditentukan oleh dirinya, tidak mengikuti orang lain atau norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat atau massa pada umumnya. Manusia harus berani menghadapi tantangan yang ada di depan mereka dengan menggunakan kekuatannya sendiri.
Dalam imajinasi Nietzsche, manusia unggul adalah manusia yang berkesuaian dengan kodrat alam dan menjadi lambang manusia yang mampu memberi arti pada hidup. Manusia unggul dengan semangat yang hebat berhasil memenangkan, mengembangkan kemampuan dan kemauannya untuk berkuasa dengan bebas dan maksimal. Ia merupakan potret manusia yang tahu tentang kebenaran dirinya sendiri dan mengemudikan sendiri dan hidup sendiri. Baginya, kemanusiaan haruslah merupakan usaha yang tak henti-hentinya untuk melahirkan manusia besar yang mampu hidup secara otonom.
Dengan begitu, maka Übermensch yang dirancang oleh Friedrich Nietzsche menitikberatkan manusia pada kesadaran kognitifnya, persis seperti yang ditanamkan oleh Al-Quran, dengan memiliki kesadaran itu, manusia terpacu untuk selalu berkembang guna mencapai kemanusiaan yang superior, dengan demikian ia telah menjaga kehormatan kemanusiaannya tersebut dengan pengembangan diri dan usaha untuk menjadikannya manusia yang lebih baik.
Pada akhirnya, nilai-nilai kemanusiaan dengan segala atributnya yang diberikan oleh Tuhan harus dijaga dan dikembangkan melalui “indrustri” Übermensch. Sebagai khalifah Tuhan di bumi, manusia tidak akan dapat mengembang amanah ini dengan baik kecuali dengan kemampuannya yang luar biasa.