Kopiah.Co — Rasanya, pada masa-masa seperti ini kita merindukan dampratan dan nasehat para negarawan. Negara-dalam hal ini para pelaku politik- perlu kiranya membuka kembali lembaran demi lembaran wejangan para tokoh-tokoh besar bangsa ini: Cak Nur (Nurcholish Madjid), Buya Syafii (Ahmad Syafii Maarif), dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid).
Sudah cukup banyak pihak yang meneriakkan isu krisis kenegarawanan dan kesenjangan demokrasi di Indonesia. Di tengah proses transisi kepemimpinan nasional yang terbilang berjalan lancar ini, seharusnya Indonesia telah bergegas lepas landas menuju negara maju. Ironisnya, hal ini tidak diiringi oleh kemauan politik (political will) yang jelas dan terarah.
Hal ini diperparah oleh lakon para pelaku politik nasional. Alih-alih menampakkan sifat kedewasaan dan kenegarawanan, mereka malah menampakkan sebaliknya. Pada akhirnya ini semua berimplikasi terhadap laku politik nasional yang semakin antagonistis, pragmatis, dan saling menyandera satu sama lain.
Di kalangan elite politik, perdebatan fundamental tentang masalah-masalah besar negara ini, seperti nasionalisme, demokrasi, cengkeraman asing, etika bernegara, dan kedewasaan politik, sudah berada jauh di luar perhatian mereka. Kecenderungan mereka saat ini adalah bergumul dalam pertarungan mahabharata perebutan kekuasaan dan posisi strategis pemerintahan.
Tentunya hal ini sangat kontras dengan apa yang ada di akar rumput masyarakat kelas bawah. Keinginan mereka untuk merasakan penghidupan yang lebih baik, besar harapannya dapat direalisasikan oleh para pemangku kebijakan. Tidak muluk-muluk, yang diminta hanyalah sekedar tidak lagi memikirkan besok makan apa, kerja di mana, dan jadi apa.
Dalam situasi kebangsaan kita saat ini, kerinduan akan hadirnya negarawan semakin dirasakan. Terbayang sosok layaknya Bung Karno dan Bung Hatta bisa hadir kembali di ranah kepemimpinan nasional. Dua sosok yang selalu berusaha mengedepankan kepentingan politik nasional, dan menghindari kepentingan politik (Political interest) individu maupun kelompok.
Menyoal kenegarawanan, Buya Syafii berpandangan bahwasanya negarawan adalah seorang yang bervisi ke depan untuk kebesaran bangsa dan negara jauh melampaui usianya. Kekuasaan baginya hanyalah sebuah wahana untuk mewujudkan cita-cita mulia politiknya demi tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan bersama, dan untuk tujuan itu dia sangat rela menderita (Kompas, 3/4/2013).
Kesungguhan dan Kejujuran Bernegara
Pada skala yang lebih makro seperti sistem kekuasaan nasional misalnya, Pancasila dan UUD 1945 sudah mulai menjadi benda mati. Semakin hari, jumlah anak bangsa yang mempraktikkan keduanya sudah mulai menipis. Ini merupakan suatu hal yang sangat ironi, dan pada akhirnya menjadi sangat wajar jika Indonesia mengalami krisis negarawan.
Dalam menciptakan lakon politik yang kenegarawanan, perlu penanaman bahwa masing-masing dari para pelaku politik perlu kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. Hal yang paling dasar dan fundamental adalah pengamalan nilai-nilai luhur Pancasila yang sudah mulai luntur. Pancasila yang dimaknai oleh Bung Karno sebagai weltanschauung Indonesia, dimaknai oleh Nurcholish Madjid sebagai kalimatun sawa, dan oleh Robert N. Bellah sebagai civil religion (agama sipil) ini, mulai mengalami disfungsi di kalangan politisi.
Selanjutnya, tentu adalah jujur dan sadar secara kolektif kolegial bahwa masih ada ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia. Masih perlu adanya kejujuran bahwa pembangunan perekonomian di Indonesia belum sepenuhnya merata. Hal semacam ini perlu diakui dengan jujur oleh mereka (pelaku politik) sehingga akhirnya ada kemauan dengan sungguh-sungguh untuk membangun Indonesia dengan sepenuh hati dan tanggung jawab.
Dengan itu semua, maka sikap kejujuran dan kesungguhan dalam mengurus negara akan pulih kembali. Jalan untuk pemulihan kesungguhan bernegara masih terbuka secara lebar, dengan syarat kemauan politik dapat diimplementasikan dengan baik sebagaimana yang terkandung dalam bunyi Pancasila yang kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Rekontekstualisasi Trisakti Bung Karno dan Pembangunan Karakter Nasional
Pada 17 Agustus 1964, Bung Karno menyampaikan gagasan tentang Trisakti, yaitu Berdaulat dalam politik, Berdikari dalam perekonomian, dan Berkepribadian dalam berkebudayaan. Tiga hal ini tentunya masih sangat relevan untuk kondisi negara saat ini yang tidak menentu. Yang seharusnya dilakukan adalah kemauan untuk mengkontekstualisasikan gagasan Bung Karno. Sehingga Indonesia tidak lagi bergantung kepada kepentingan asing yang pada akhirnya memengaruhi pola perilaku politisi dalam memenuhi kepentingan individu ataupun kelompok.
Selanjutnya, adalah pembangunan karakter nasional. Negara perlu kiranya menanamkan di seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara nilai-nilai karakter nasional. dalam hal ini, nilai-nilai seperti patriotisme, bela tanah air, dan kepentingan nasional wajib ditanamkan dalam sanubari semua anak bangsa.
Ketika pembangunan karakter nasional ini berhasil, maka lakon politik nasional akan berjalan di jalurnya. berdasarkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Sehingga, kita dapat mengaktualisasikan gagasan para negarawan terdahulu Indonesia. Dengan ini semua maka keadilan sosial bukan hanya angan-angan, tetapi sudah menjadi pengamalan sehari-hari. Ibnu Khaldun dalam karya Monumentalnya menuliskan bahwa “Tidak ada struktur kenegaraan yang berhasil tanpa keadilan”.
Akhirnya, dalam keseluruhan aspek di atas, krisis negarawan ini menjadi salah satu isu penting yang harus lekas diobati bersama lukanya. Di tengah gejolak peperangan di mana-mana, kehadiran negarawan yang nasihat dan tutur katanya didengar oleh semua kalangan sangat diperlukan keberadaannya. Sehingga pada akhirnya Indonesia tidak menjadi negara yang tidak memiliki identitas dan dapat mencetuskan pemimpin-pemimpin yang memiliki sifat kenegarawanan, mengamalkan Pancasila juga UUD 1945, dan mengedepankan kepentingan nasional.