Kopiah.Co — Bulan Oktober telah berlalu. Saya menyebut bulan Oktober adalah bulannya para pemuda. Terdapat dua peristiwa besar yang telah terjadi di Republik ini dan secara resmi diperingati sebagai hari Nasional, yaitu Hari Santri Nasional pada 22 Oktober dan Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober. Dua peristiwa yang hampir seutuhnya diperankan para pemuda ini turut berkontribusi besar dalam terwujudnya negara bangsa dan Indonesia modern seperti saat ini.
22 Oktober mengingatkan kita pada Resolusi Jihad yang diserukan oleh KH. Hasyim Asyari. Resolusi ini yang pada akhirnya mampu mengobarkan semangat juang para santri dan pemuda untuk bersatu padu melawan tantara kolonial hingga tetes darah terakhirnya. Fatwa jihad ini sekaligus menjadi bukti bahwa kaum santri dan kyai yang berperan sebagai agen atau brokernya -meminjam istilah Geertz-, adalah kaum agamis yang nasionalis. Sejak dahulu, gen religiusitas kita adalah religius nasionalis atau nasionalis religius. Tanpa perlu membaca teori-teori nasionalisme Barat seperti What is Nation?-nya Ernest Renant atau The Social Contract-nya JJ Rosseau, nasionalisme santri sudah menyatu dalam jiwa mereka secara autentik melalui para kyai. (lihat Saiful Rahmat, Media Indonesia,18/10/24).
Demikian pula peristiwa 28 Oktober yang menjadi momen berkumpulnya para pemuda lintas suku dan bangsa seperti Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Islamieten, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Jong Ambon dan seterusnya untuk menyepakati dan bersumpah setia bahwa tumpah darah, bangsa dan bahasa mereka satu, Indonesia. Jika kita coba menyelam dalam konteks masa itu, tentu saja ini adalah keputusan dan komitmen yang tidak mudah. Dengan ikrar setia ini, para pemuda yang berasal dari bangsa, suku dan bahasa yang berbeda, bersepakat meruntuhkan dan mengubur ego individual demi terwujudnya satu cita-cita bersama, persatuan dan kemerdekaan Indonesia.
Urgensi Imaji
Ada kekuatan mendasar yang sangat penting dan tidak boleh terlupakan. Kekuatan ini melatarbelakangi terjadinya setiap peristiwa dan revolusi besar di dunia ini, yaitu kekuatan imajinasi. Munculnya resolusi jihad dan sumpah pemuda tentu saja sebab adanya imajinasi yang kuat mengenai terwujudnya persatuan Indonesia dan lepasnya belenggu imperialisme dan kolonialisme dari bumi pertiwi.
Imajinasi dalam bahasa Arab disebut khayal. Artinya, berimajinasi sama dengan berkhayal. Kata berkhayal ini untuk selanjutnya diserap ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi bahasa yang sangat familiar di telinga kita. Namun sayangnya, kata berkhayal banyak dikonotasikan negatif. Berkhayal dianggap membayangkan sesuatu yang tak mungkin terjadi atau sangat sulit terjadi. Tentu saja makna ini telah mengalami transformasi dan reduksi daripada asalnya.
Ditambah lagi dengan dalih bersandarkan hadis Nabi, tersebarnya paham di tengah-tengah kaum muslimin mengenai larangan memiliki angan-angan yang panjang (thul al-amal). Sebagian mereka memahami secara literal dan menelan mentah-mentah hadis tersebut tanpa membaca tafsir yang beragam terhadapnya. Ibn Hajar al-Asqalani misalnya, mengatakan yang dilarang adalah adanya “istirsal” (terjerumus/ tenggelam) di dalam angan-angan itu. Jika tidak “istirsal” maka berkhayal adalah aktivitas yang sangat baik untuk membangun optimisme dalam kehidupan.
Alih-alih negatif, dalam pengertian asalnya, berkhayal dimaknai lebih positif di kalangan para pemikir dan filsuf. Friedrich Wilhelm Joseph Schelling, seorang filsuf berkebangsaan Jerman abad ke-18, misalnya mendefinisikan bahwa imajinasi adalah satu-satunya kemampuan yang memungkinkan penyair atau seniman, bahkan filsuf, untuk mencapai kebenaran. Ia adalah kekuatan agung yang mampu mengumpulkan gambar-gambar dari alam, menyusunnya kembali, dan mengkompromikan hal-hal yang bertentangan (Rabii: 2012).
Seorang kritikus sastra asal Perancis yang pernah meraih penghargaan Nobel Sastra, Anatole France, juga mengatakan “andai bukan karena impian para filsuf terdahulu, niscaya manusia pada hari ini masih tinggal dia goa-goa tanpa busana. Terbentuknya sebuah kota adalah imajinasi (khayalan) dari para pemikir. Imajinasi adalah asas kemajuan, di dalamnya terdapat usaha untuk menciptakan masa depan yang lebih baik” (Saadi: 2014).
Senada dengan ungkapan Anatole, Bennedict Anderson dalam karyanya imagined communities, juga berkesimpulan bahwa terbentuknya sebuah bangsa adalah perwujudan dari imajinasi para pendiri bangsanya masing-masing (Anderson: 2006). Tentu saja kita tidak bisa menafikan bahwa kemerdekaan yang kita raih, nasionalisme yang mengakar kuat, serta kemajuan di berbagai sektor, adalah hasil dari imajinasi para pemimpin dan pendiri bangsa ini.
Imaji Pemuda
Indonesia saat ini sedang mengalami bonus demografi. Para pemuda hari ini benar-benar memikul tanggung jawab yang besar guna menentukan arah semakin maju atau terpuruknya Indonesia ke depan. Para pemuda harus membuktikan eksistensi mereka. Di tengah euforia mengenai bonus demografi Indonesia, para pemuda harus mampu menjawab dengan tegas apakah demografi di negeri ini adalah sebuah anugerah atau musibah ? apakah demografi kita hari ini layak disebut bonus atau justru “onus” (beban) ? (Mason: 2001).
Karena itu, para pemuda harus membangkitkan imajinasi dalam jiwa mereka masing-masing. Imajinasi itu harus terus dijaga, dipupuk dan disirami supaya kelak bisa dipetik buahnya. Pemuda hari ini tidak boleh berpangku tangan, bertameng dengan slogan “biarlah hidup berjalan seperti air” atau “santai saja, hidup sudah ada yang mengatur”. Slogan itu benar, tapi juga tak seutuhnya benar. Karena meski hidup sudah diatur, jangan lupa bahwa Tuhan memerintahkan kita untuk berusaha dan selalu optimis menatap masa depan. Pemuda harus memiliki semangat yang menyala-nyala. Menghapus kata impossible dalam kamus imajinasinya, lalu menggantinya dengan kata possible.
Kita bisa menyebut sedikit contoh bagaimana sebenarnya negara kita dibentuk dan diperjuangkan oleh para pemuda. Bung Karno misalnya, di tahun 1927 saat usianya baru 26 tahun, ia dengan gagah berani mendirikan Partai Nasional Indonesia. Bung Karno muda saat itu, tidak terpikir betapa besarnya biaya yang dibutuhkan untuk bisa terciptanya kemerdekaan serta berakhirnya imperialisme dan kolonialisme dari tanah air kita. Akan tetapi, Bung Karno muda memiliki imajinasi yang mengakar kuat dan menyala-nyala untuk mewujudkan cita-citanya itu. Itulah modal utama dan paling berharga melebihi materi apapun.
Tokoh kedua kita bisa sebut Mohammad Yamin. Ia adalah salah satu tokoh penting penggagas ide-ide besar di balik peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Di usianya yang masih 25 tahun itu, Mohammad Yamin bersama Soegondo Djojopespito, R. M. Joko Marsaid, Amir Sjarifoeddin, Johan Mohammad Cai dan para pemuda lainnya menyatukan imajinasi mereka untuk terciptanya sebuah nasionalisme yang kokoh di setiap jiwa rakyat Indonesia melalui ikrar sumpah pemuda.
Ini adalah sekadar menyebut beberapa nama untuk mengingatkan kita bahwa bangsa ini juga dibangun di atas landasan imajinasi para pemuda pada saat itu.
Hierarki Imaji
Mengadopsi dan memodifikasi teori hierarki reformasi (“salah” dalam bahasa Arab) yang digunakan Thahir bin Ashur dalam muqaddimah al-tahrir wa al tanwir, saya membagi hierarki imajinasi kepada khiyal al-fard, khiyal al-mujtama’ dan khiyal al-‘umran.
Khiyal al-fard (imagined individuals), berarti individu yang diimajinasikan. Artinya, seorang pemuda harus mengimajinasikan dirinya sendiri di masa depan. Akan menjadi apa dan seperti apa dirinya, harus terus dibayangkan dan dicita-citakan. Cita-cita dan optimisme menatap masa depan harus terpatri dengan kuat di dalam jiwa.
Selanjutnya, khiyal al-mujtama’ (imagined communities), berarti komunitas atau masyarakat yang diimajinasikan. Setelah para pemuda selesai dengan dirinya sendiri, ia harus mengimajinasikan untuk menjadi pelita bagi komunitas, masyarakat sekitar dan bangsanya.
Terakhir, khiyal al-‘umran (imagined civilizations), artinya peradaban yang diimajinasikan. Paska seorang pemuda selesai dengan dirinya dan masyarakatnya, maka ia harusnya mampu mengimajinasikan yang lebih daripada itu, yakni menebar manfaat untuk peradaban dunia. Ia harus membayangkan dirinya menjadi agen perubahan dan perdamaian demi terciptanya tatanan kehidupan dunia yang aman dan nyaman.
Bagi saya, ketiga imajinasi ini juga harus berjalan secara gradual. Jangan melompat ke tahap ke-dua atau ke-tiga sebelum tahap sebelumnya terpenuhi. Sebagai contoh, seorang pemimpin di tingkatan manapun, seharusnya ia sudah selesai dengan dirinya sendiri (khiyal al-fard). Sebab seorang pemimpin itu sudah berada di level ke-dua (khiyal al-mujtama’). Artinya ia dituntut untuk bertindak berdasarkan kepentingan komunitas atau masyarakat sekitar yg ia pimpin, bukan berasaskan kepentingan pribadi lagi.
Kita bisa saksikan bersama faktanya jika para pemimpin ini terlahir prematur tanpa melalui tahapan yang benar. Ia belum selesai akan imaji dirinya sendiri, namun sudah dituntut untuk mengimajinasikan komunitasnya. Akibatnya, ada konflik kepentingan (conflict of interest) di balik kebijakan-kebijakan yang ia putuskan dan atau program-program yang ia laksanakan. Dari sinilah akar munculnya beragam permasalahan seperti korupsi, ketidakadilan, persekusi, penyalahgunaan hukum dan lain sebagainya.
Maka menurut saya, para pemuda benar-benar harus memiliki imajinasi yang mengakar kuat di dalam jiwanya, lalu mewujudkannya secara gradual. Supaya kelak lahir para penerus bangsa yang visioner dan berintegritas; para pemuda yang siap menatap masa depan; dan para pemuda yang bisa menebar sebanyak mungkin kemanfaatan tidak hanya untuk pribadinya, namun juga untuk masyarakat, bangsa bahkan peradaban dunia.